Analisis Mikro Batubara

Batubara adalah sumberdaya alam berbentuk padat, terbentuk dari mineral dan material organik yang tersusun dari makromolekul yang memiliki berbagai jenis struktur kimia. Agar batubara dapat dimanfaatkan secara efektif, diperlukan beragam informasi yang terkait dengan karakteristik dan struktur mikronya sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

Unsur Pembentuk Batubara



Meskipun komposisi unsur organik pembentuk batubara berbeda-beda sesuai dengan jenis batubaranya, tapi kurang lebih dapat dinyatakan sebagai C100H30~110O3~40N0.5~2S0.1~3. Sedangkan untuk unsur inorganik, terdiri dari unsur inorganik utama dan unsur inorganik minor.

Unsur inorganik utama: Si, Al, Ca, Fe, Mg, Na, Ti, K.

Unsur inorganik minor: Be, Se, V, Cr, Co, Ni, Cu, Zn, Ga, Ge, As, Hg, Pb, Rb, Sr, Y, Zr, Nb, Ba, La, Ce, Nd, Sm, dll.

Struktur Batubara

1. Maceral Batubara (Coal Maceral)

Batubara adalah tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah yang prosesnyaberlangsung sejak periode karbon (carboniferous period) kurang lebih 350 juta tahun lalu sampai dengan periode neosin (Neocene period) kurang lebih jutaan tahun lalu, yang kemudian terurai oleh sejenis jamur (fungi), dan selanjutnya mengalami pembatubaraan (coalification) yang diakibatkan oleh tekanan seperti pergerakan lapisan kulit bumi. Tidak diragukan lagi bahwa batubara terbentuk dari material tumbuhan dari tetumbuhan purba yang pernah berkembang di masa tersebut. Menggunakan mikroskop optik, struktur batubara (coal maceral) dapat diamati dengan jelas.







Gambar 1 Maceral dan mineral batubara


E: Exinite (Liptinite). Terbentuk dari daun, kulit pohon, serbuk sari, biji, dan resin pada pohon. Tingkat pantulannya sangat rendah.

V: Vitrinite. Terbentuk dari jaringan kayu. Tingkat pantulannya rendah.

I: Inertinite. Terbentuk dari jaringan kayu yang mengalami oksidasi kuat. Tingkat pantulannya tinggi.

2. Mineral Dalam Batubara

Komposisi, model keberadaan, dan kondisi sebaran mineral dalam batubara merupakan karakteristik mendasar yang pokok untuk menjelaskan sifat serta mekanisme pembentukan abu batubara pada pembakaran suhu tinggi dan pada proses gasifikasi batubara.

Mineral utama:

- mineral lempung, misalnya kaolinite (Al2O3・SiO2・xH2O).

- karbonat, misalnya calcite (CaCO3).

- sulfide, misalnya pyrite (FeS2).

- oksida, misalnya quartz (SiO2).

Logam berikatan organik: ion exchangeable metal ( -COO-Na+, dll).

3. Struktur Molekul Batubara

Material organik batubara terbentuk dari makromolekul yang memiliki berat molekul ratusan sampai ribuan atau lebih, yang tersusun dari unit dasar berupa cincin benzena (benzene ring) dan cincin aromatik polinukleus (polynucleus aromatic ring) yang gugus fungsionalnya (misalnya gugus metil atau gugus hidroksil) saling berikatan. Unit – unit dasar tersebut terhubung dengan ikatan metilen, ikatan ether, dan ikatan lain. Adapun makromolekul itu sendiri terhubung dengan ikatan nonkovalen seperti ikatan π-π (ikatan Van der Walls bertipe aromatic flat space), ikatan hidrogen, ikatan ion, dan ikatan lainnya, membentuk struktur jaringan 3 dimensi yang kuat. Dari hasil penelitian, interaksi di antara molekul – molekul tersebut ternyata diketahui sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan sifat material dan karakteristik reaksi termokimia pada batubara saat mendapat perlakuan panas.


Gambar 2 Struktur molekul batubara


Pirolisis Batubara

Bila batubara dipanaskan dalam lingkungan gas inert, ikatan – ikatan dalam batubara akan terlepas dan terurai membentuk radikal yang bermacam – macam, dimulai dari yang energi ikatannya paling lemah. Radikal – radikal tersebut akan segera bereaksi membentuk material stabil berupa gas, zat cair (tar), zat padat (char). Reaksi pirolisis ini berlangsung dalam hitungan mili detik sampai beberapa puluh mili detik.


Gambar 3 Pirolisis batubara




Pirolisis batubara merupakan metode yang efektif untuk menghasilkan material kimia yang bermanfaat seperti etana, metilen, benzena, dan toluen, karena di dalam prosesnya, cincin aromatik yang membentuk batubara langsung berubah dari rantai sisi (side chain) menjadi material – material tersebut. Untuk dapat menambah tingkat keterambilan material – material itu, diperlukan pengontrolan terhadap reaksi penguraian batubara yang berstruktur kompleks tersebut, yang prosesnya berlangsung sangat singkat.

*Sumber: Coal Science Handbook.
Selengkapnya...

Slagging dan Fouling

Slagging dan fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu batu bara yang melebur pada pipa penghantar panas (heat exchanger tube) ataupun dinding boiler. Kedua hal ini sangat serius karena dapat memberikan dampak yang besar pada operasional boiler, seperti masalah penghantaran panas, penurunan efisiensi boiler, tersumbatnya pipa, serta kerusakan pipa akibat terlepasnya clinker. Keseluruhan masalah yang timbul tadi sering pula disebut dengan clinker trouble.



Fenomena menempelnya abu ini terutama dipengaruhi oleh suhu melebur abu (ash fusion temperature, AFT) dan unsur – unsur dalam abu. Selain kedua faktor tadi, evaluasi terhadap masalah ini juga dapat diketahui melalui perhitungan rasio terhadap beberapa unsur tertentu dalam abu.

Penilaian terhadap slagging & fauling ini perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai faktor, karena terkadang hasilnya tidak akurat apabila hanya mendasarkan diri pada satu aspek saja. Karena terdapat banyak faktor yang terlibat dalam penilaian tersebut, maka disini hanya akan dijelaskan metode evaluasi yang umum dilakukan.

Slagging

Slagging adalah fenomena menempelnya partikel abu batubara baik yang berbentuk padat maupun leburan, pada permukaan dinding penghantar panas yang terletak di zona gas pembakaran suhu tinggi (high temperature combustion gas zone), sebagai akibat dari proses pembakaran batubara. Terkait hal ini, persoalan penting yang perlu mendapat perhatian terutama adalah dinding penghantar panas konveksi pada bagian outlet dari tungku (furnace), bila suhu gasnya melebihi temperatur melunak abu (ash softening temperature).

Meskipun mekanisme menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas boiler adalah rumit dan belum sepenuhnya dapat diterangkan, tapi secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:

Campuran mineral anorganik yang terdapat dalam abu batubara yang terdiri dari lempung (clay),pyrite, calcite, dolomite, serta kuarsa (quarts), menerima panas radiasi yang kuat di dalam tungku sampai akhirnya melebur. Saat abu yang melebur (molten ash) tadi bersentuhan dengan permukaan pipa yang suhunya relatif lebih rendah, abu akan mengalami pendinginan sehingga akhirnya menempel dan mengeras.

Ketebalan lapisan abu yang menempel ini biasanya tidak sampai pada tingkat yang mengganggu performa dinding penghantar panas. Lagi pula, abu tadi dapat dihilangkan dengan penempatansoot blower di dalam tungku secara tepat. Tetapi bila sebagian batubara yang dibakar tersebut memiliki suhu lebur abu (AFT) relatif rendah dan berkadar lempung tinggi, maka abu yang menempel akan membentuk lapisan dan lama – kelamaan akan berkembang. Jika hal ini berlangsung terus, maka dapat menyebabkan turunnya kapasitas keluaran boiler akibat beberapa masalah yang muncul, diantaranya adalah menurunnya penyerapan panas oleh tungku dan tersumbatnya lubang (orifice) pada tungku.

Untuk slagging ini, karakteristiknya dapat dinilai dari suhu lebur abu (AFT) dan kondisi abu itu sendiri. Suhu lebur abu yang rendah akan memudahkan terjadinya slagging. Kemudian, diketahui pula bahwa bila rasio unsur alkali (Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O) terhadap unsur asam (SiO2, Al2O3, TiO2) meninggi, potensi timbulnya slagging juga meningkat.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap slagging.

a. Metode evaluasi representatif.

Metode ini dikembangkan oleh perusahaan Babcock & Wilcox (B & W) yang merupakan fabrikanboiler terkemuka dari Amerika.

Pada metode ini, penilaiannya akan berbeda sesuai dengan komposisi unsur pembentuk abu sebagaimana ditampilkan di bawah ini.

• Abu tipe bituminus … CaO + MgO < Fe2O3. 
• Abu tipe lignit … CaO + MgO > Fe2O3.

Abu tipe bituminus

Pada tipe ini, karakteristik slagging ditentukan berdasarkan perhitungan rasio unsur alkali terhadap unsur asam, dengan kadar sulfur.

Rs (Slagging index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / SiO2 + Al2O3 + TiO2} X S

S adalah Total Sulfur (%) dalam DB.

Abu tipe lignit

Pada slagging, yang banyak berpengaruh adalah CaO yang merupakan unsur yang mudah menempel di dinding penghantar panas, dan Na2O yang merupakan unsur yang menentukan kekuatan ikatan abu yang menempel. Tipe lignit banyak mengandung kedua unsur tersebut. Dan parameter untuk penilaian slagging pada tipe ini adalah suhu melebur abu saja.

Hampir semua lignit termasuk sebagian besar batubara sub-bituminus dievaluasi berdasarkan perhitungan di bawah ini.

Rs (Slagging index) = {HT (Hemisphere Temp.) + 4 X IDT (Initial Deformation Temp.)} / 5

Meskipun suhu lebur abu dapat diukur dalam lingkungan oksidasi maupun reduksi., tetapi suhu pada kondisi reduksi pada umumnya menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi oksidasi (50 ~ 2000C). Hal ini terkadang dapat mempengaruhi hasil penilaian.


b. Rasio alkali dalam abu (base/acid ratio) 

Rasio alkali dalam abu ditampilkan dalam persamaan berikut ini: 

Rasio alkali dalam abu = unsur alkali / unsur asam = (Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 ) 

Persamaan di atas menunjukkan rasio tingkat kemungkinan pembentukan low molten-salt oleh unsur – unsur logam dalam abu (kecuali Si yang non logam) pada saat pembakaran batubara. 

Bila rasio ini tinggi, maka oksida dengan titik lebur rendah dan senyawa alkali akan mudah terbentuk, menyebabkan kecenderungan slagging juga meninggi. Untuk rentang nilainya, meskipun sedikit banyak tergantung pula dari unsur – unsur yang lain (persentase dari Fe2O3 , CaO, SiO2, Al2O3, dan lain – lain), tapi hampir semua abu menunjukkan kecenderungan suhu lebur abu yang rendah dan potensi slagging yang tinggi pada rasio 0.4 ~ 07. 

Terkait hal ini, fabrikan boiler biasanya menentukan nilai rasio yang lebih rendah dari 0.4 ~ 0.5. 

c. Total alkali (Na2O + K2O)

Na2O dan K2O akan membentuk senyawa dengan titik lebur rendah bila berikatan dengan unsur yang lain. Meningkatnya kecenderungan slagging juga akan diikuti oleh meningkatnya kecenderungan fouling, sesuai dengan kadar alkali dalam abu. Oleh karena itu, pembuat boilerbiasanya menentukan nilai total alkali kurang dari 5%, dengan angka ideal kurang dari 3%.

Yang perlu diperhatikan bahwa total alkali yang dimaksud disini bukan berarti jumlah dari seluruh unsur alkali dalam abu. Meskipun salah kaprah, tapi penyebutan ini sudah menjadi kelaziman. Hal ini karena istilah tersebut merujuk ke unsur alkali, terutama Na2O dan K2O yang mudah membentuk senyawa dengan titik lebur rendah. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah “total oksida logam alkali”.

d. Unsur lainnya.

Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan slagging. Diantaranya adalah

- Rasio besi / kalsium (Fe2O3 / CaO)

Secara umum diketahui bahwa rasio antara 0.2 ~ 10 akan berpengaruh pada penurunan suhu lebur abu, dengan rasio 0.3 ~ 3 menunjukkan gejala yang paling mencolok. Jadi, kecenderungan slagging akan meninggi pada rentang nilai ini.

- Besi oksida (Fe2O3)

Bila kalsium oksida (CaO) ditambahkan pada besi okssida (Fe2O3) maka suhu lebur akan turun dan kecenderungan slagging akan meningkat. Untuk itu, maka kadar Fe2O3 diharapkan tidak lebih dari 15%. Untuk desain boiler, nilai maksimalnya adalah 20%.

Disamping itu, kadar besi oksida yang banyak juga akan menyebabkan abunya berwarna kemerahan.

Fouling

Fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas (super heater maupun re-heater) yang dipasang di lingkungan dimana suhu gas pada bagian belakang furnace lebih rendah dibandingkan suhu melunak abu (ash softening temperature).

Unsur yang paling berpengaruh pada penempelan abu ini adalah material basa terutama Na, yang dalam hal ini adalah kadar Na2O.

Bila kadar abu batubara banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar Na2O yang tinggi, maka fouling akan mudah terjadi.

Evaluasi karakteristik fouling sama dengan untuk slagging, yaitu dinilai berdasarkan rasio unsur basa dan asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai – nilai tadi tinggi, maka secara umum kecenderungan fouling juga meningkat.

Selanjutnya, kadar sulfur yang tinggi juga cenderung mendorong timbulnya fouling melalui pembentukan senyawa bersuhu lebur rendah, melalui persenyawaan dengan unsur basa ataupun besi.

Fouling yang berkembang akan dapat menyebabkan bermacam – macam masalah seperti penurunan suhu uap pada keluaran (outlet) super heater dan re-heater, serta menyempit dan tersumbatnya jalur aliran gas. Untuk menghilangkan abu ini dapat digunakan soot blower, sama seperti penanganan pada slagging.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap fouling.

a. Metode evaluasi representatif.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mempengaruhi kondisi menempelnya abu adalah Na2O. Oleh karena itu, perusahaan B & W menentukan penilaian fouling berdasarkan persamaan di bawah ini. Untuk pembagian tipe abu juga sama dengan untuk slagging.

Abu tipe bituminus (CaO + MgO < Fe2O3) 

Rf (Fouling index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 )} X Na2O

Abu tipe lignit (CaO + MgO > Fe2O3)

Rf = kadar Na2O (%)

b. Unsur lainnya.

Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan fouling. Diantaranya adalah

- Na2O

Unsur yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan fouling adalah unsur alkali, terutama Na. Seperti dijelaskan di atas bahwa pengaruh Na2O adalah besar. Batubara yang abunya (baik tipe lignit maupun bituminus) mengandung Na2O dengan kadar lebih dari 1~2% (sebagian fabrikan menunjuk angka lebih dari 2 ~ 4%) mengindikasikan memiliki kecenderungan fouling yang tinggi.

Di Jepang, standar kualitas batubara uap untuk Na2O adalah 0.1%~3% untuk pembangkitan listrik, dan maksimal 1.2% untuk industri semen.

Batas bawah untuk pembangkitan listrik adalah 0.1%, karena bila angkanya kurang dari ini akan menyebabkan turunnya performa keterambilan debu (untuk proses pengambilan debu dengan Electrostatic Precipitator suhu rendah yang banyak digunakan di Jepang).

Sedangkan untuk industri semen, standar angka (maksimal 1.2%) tadi bukan dimaksudkan untuk menilai kecenderungan fouling, tapi untuk fenomena penurunan kualitas beton terpasang yang disebut dengan alkali-aggregate reaction. Bila terdapat banyak Na2O dalam semen, maka akan timbul alkali-aggregate reaction yang dapat menyebabkan tulang beton menjadi aus atau mengembang, serta betonnya itu sendiri dapat mengembang dan retak.

Disamping Na, unsur lain di dalam semen yang juga dapat menyebabkan fenomena ini adalah K (Kalium). Selain berasal dari abu batubara seperti halnya Na, Kalium juga ada yang terbawa dari bahan baku semen.

Oleh karena itu, penilaiannya ditentukan oleh jumlah Na2O dan K2O di dalam semen, yang nilainya diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Sedangkan yang terdapat dalam abu batubara, standar nilai yang ditetapkan adalah maksimal 1.2%.

Alasan mengapa angkanya sangat besar yaitu 1.2% adalah karena sedikitnya jumlah yang terbawa dari batubara untuk proses kalsinasi di kiln (diperlukan 110~120 kg batubara untuk produksi 1 ton semen). Selain itu, bila abu batubara diganti dengan lempung yang merupakan bahan baku sekunder (diperlukan 280~300 kg untuk produksi 1 ton semen), kadar Na2O dan K2O dapat diperoleh dalam jumlah yang sangat sedikit sesuai dengan rasio substitusi yang diperhitungkan.

Bila jumlah Na2O dan K2O dikonversi ke dalam basis Na2O, maka perhitungannya adalah Na2O + 0.658 K2O. Disini, angka 0.658 adalah hasil bagi antara berat molekul Na2O (61.98) dengan berat molekul K2O (94.20).

- CaO.

Batubara dengan kadar CaO dalam abu yang tinggi menunjukkan kecenderungan fouling yang tinggi pula. Disini, yang perlu mendapat perhatian adalah bila kadar CaO dalam abunya lebih dari 15~20%.


* Sumber: Sekitan No Kiso Chishiki (Gijutsu Hen)
Selengkapnya...

Mengenal Coal Bed Methane (CBM)

Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.

Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas,devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas(peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.



Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.


Gambar 1. Prinsip produksi CBM

CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.

Potensi CBM

Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.


Gambar 2. Pembentukan CBM

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.

Produksi CBM & Teknologi Pengeboran

Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.
Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini.


Gambar 3. Teknik produksi CBM

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.


Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.

Catatan: Teknik pengontrolan arah bor

Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini, hanya bit yang terpasang di ujung down hole motor saja yang berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan) dan bukan mesin bor rotary (pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran sumur horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut MWD (Measurement While Drilling) terpasang di bagian belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.


Gambar 5. Pengontrolan arah bor

ECBM

ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk meningkatkan keterambilan CBM. Pada teknik ini, gas injeksi yang umum digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh sangat berbeda tergantung dari gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan produksi CBM dengan menggunakan gas injeksi N dan CO2.



Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2

Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan tetapi, karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan justru menjadi berkurang.

Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan karena konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks tersebut. Sebagian N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi N lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh (saturated) dengan sedikit N saja.




Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas



Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara

Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila dibandingkan dengan gas metana, sehingga CO2 akan menghalau gas metana yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja banyak menempel di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak terdapat CO2 sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih sedikit bila dibandingkan dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.


*Sumber: “Sekitan No Hon” by Kazuo Fujita.
Selengkapnya...