Analisis Mikro Batubara

Batubara adalah sumberdaya alam berbentuk padat, terbentuk dari mineral dan material organik yang tersusun dari makromolekul yang memiliki berbagai jenis struktur kimia. Agar batubara dapat dimanfaatkan secara efektif, diperlukan beragam informasi yang terkait dengan karakteristik dan struktur mikronya sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

Unsur Pembentuk Batubara



Meskipun komposisi unsur organik pembentuk batubara berbeda-beda sesuai dengan jenis batubaranya, tapi kurang lebih dapat dinyatakan sebagai C100H30~110O3~40N0.5~2S0.1~3. Sedangkan untuk unsur inorganik, terdiri dari unsur inorganik utama dan unsur inorganik minor.

Unsur inorganik utama: Si, Al, Ca, Fe, Mg, Na, Ti, K.

Unsur inorganik minor: Be, Se, V, Cr, Co, Ni, Cu, Zn, Ga, Ge, As, Hg, Pb, Rb, Sr, Y, Zr, Nb, Ba, La, Ce, Nd, Sm, dll.

Struktur Batubara

1. Maceral Batubara (Coal Maceral)

Batubara adalah tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah yang prosesnyaberlangsung sejak periode karbon (carboniferous period) kurang lebih 350 juta tahun lalu sampai dengan periode neosin (Neocene period) kurang lebih jutaan tahun lalu, yang kemudian terurai oleh sejenis jamur (fungi), dan selanjutnya mengalami pembatubaraan (coalification) yang diakibatkan oleh tekanan seperti pergerakan lapisan kulit bumi. Tidak diragukan lagi bahwa batubara terbentuk dari material tumbuhan dari tetumbuhan purba yang pernah berkembang di masa tersebut. Menggunakan mikroskop optik, struktur batubara (coal maceral) dapat diamati dengan jelas.







Gambar 1 Maceral dan mineral batubara


E: Exinite (Liptinite). Terbentuk dari daun, kulit pohon, serbuk sari, biji, dan resin pada pohon. Tingkat pantulannya sangat rendah.

V: Vitrinite. Terbentuk dari jaringan kayu. Tingkat pantulannya rendah.

I: Inertinite. Terbentuk dari jaringan kayu yang mengalami oksidasi kuat. Tingkat pantulannya tinggi.

2. Mineral Dalam Batubara

Komposisi, model keberadaan, dan kondisi sebaran mineral dalam batubara merupakan karakteristik mendasar yang pokok untuk menjelaskan sifat serta mekanisme pembentukan abu batubara pada pembakaran suhu tinggi dan pada proses gasifikasi batubara.

Mineral utama:

- mineral lempung, misalnya kaolinite (Al2O3・SiO2・xH2O).

- karbonat, misalnya calcite (CaCO3).

- sulfide, misalnya pyrite (FeS2).

- oksida, misalnya quartz (SiO2).

Logam berikatan organik: ion exchangeable metal ( -COO-Na+, dll).

3. Struktur Molekul Batubara

Material organik batubara terbentuk dari makromolekul yang memiliki berat molekul ratusan sampai ribuan atau lebih, yang tersusun dari unit dasar berupa cincin benzena (benzene ring) dan cincin aromatik polinukleus (polynucleus aromatic ring) yang gugus fungsionalnya (misalnya gugus metil atau gugus hidroksil) saling berikatan. Unit – unit dasar tersebut terhubung dengan ikatan metilen, ikatan ether, dan ikatan lain. Adapun makromolekul itu sendiri terhubung dengan ikatan nonkovalen seperti ikatan π-π (ikatan Van der Walls bertipe aromatic flat space), ikatan hidrogen, ikatan ion, dan ikatan lainnya, membentuk struktur jaringan 3 dimensi yang kuat. Dari hasil penelitian, interaksi di antara molekul – molekul tersebut ternyata diketahui sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan sifat material dan karakteristik reaksi termokimia pada batubara saat mendapat perlakuan panas.


Gambar 2 Struktur molekul batubara


Pirolisis Batubara

Bila batubara dipanaskan dalam lingkungan gas inert, ikatan – ikatan dalam batubara akan terlepas dan terurai membentuk radikal yang bermacam – macam, dimulai dari yang energi ikatannya paling lemah. Radikal – radikal tersebut akan segera bereaksi membentuk material stabil berupa gas, zat cair (tar), zat padat (char). Reaksi pirolisis ini berlangsung dalam hitungan mili detik sampai beberapa puluh mili detik.


Gambar 3 Pirolisis batubara




Pirolisis batubara merupakan metode yang efektif untuk menghasilkan material kimia yang bermanfaat seperti etana, metilen, benzena, dan toluen, karena di dalam prosesnya, cincin aromatik yang membentuk batubara langsung berubah dari rantai sisi (side chain) menjadi material – material tersebut. Untuk dapat menambah tingkat keterambilan material – material itu, diperlukan pengontrolan terhadap reaksi penguraian batubara yang berstruktur kompleks tersebut, yang prosesnya berlangsung sangat singkat.

*Sumber: Coal Science Handbook.
Selengkapnya...

Slagging dan Fouling

Slagging dan fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu batu bara yang melebur pada pipa penghantar panas (heat exchanger tube) ataupun dinding boiler. Kedua hal ini sangat serius karena dapat memberikan dampak yang besar pada operasional boiler, seperti masalah penghantaran panas, penurunan efisiensi boiler, tersumbatnya pipa, serta kerusakan pipa akibat terlepasnya clinker. Keseluruhan masalah yang timbul tadi sering pula disebut dengan clinker trouble.



Fenomena menempelnya abu ini terutama dipengaruhi oleh suhu melebur abu (ash fusion temperature, AFT) dan unsur – unsur dalam abu. Selain kedua faktor tadi, evaluasi terhadap masalah ini juga dapat diketahui melalui perhitungan rasio terhadap beberapa unsur tertentu dalam abu.

Penilaian terhadap slagging & fauling ini perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai faktor, karena terkadang hasilnya tidak akurat apabila hanya mendasarkan diri pada satu aspek saja. Karena terdapat banyak faktor yang terlibat dalam penilaian tersebut, maka disini hanya akan dijelaskan metode evaluasi yang umum dilakukan.

Slagging

Slagging adalah fenomena menempelnya partikel abu batubara baik yang berbentuk padat maupun leburan, pada permukaan dinding penghantar panas yang terletak di zona gas pembakaran suhu tinggi (high temperature combustion gas zone), sebagai akibat dari proses pembakaran batubara. Terkait hal ini, persoalan penting yang perlu mendapat perhatian terutama adalah dinding penghantar panas konveksi pada bagian outlet dari tungku (furnace), bila suhu gasnya melebihi temperatur melunak abu (ash softening temperature).

Meskipun mekanisme menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas boiler adalah rumit dan belum sepenuhnya dapat diterangkan, tapi secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:

Campuran mineral anorganik yang terdapat dalam abu batubara yang terdiri dari lempung (clay),pyrite, calcite, dolomite, serta kuarsa (quarts), menerima panas radiasi yang kuat di dalam tungku sampai akhirnya melebur. Saat abu yang melebur (molten ash) tadi bersentuhan dengan permukaan pipa yang suhunya relatif lebih rendah, abu akan mengalami pendinginan sehingga akhirnya menempel dan mengeras.

Ketebalan lapisan abu yang menempel ini biasanya tidak sampai pada tingkat yang mengganggu performa dinding penghantar panas. Lagi pula, abu tadi dapat dihilangkan dengan penempatansoot blower di dalam tungku secara tepat. Tetapi bila sebagian batubara yang dibakar tersebut memiliki suhu lebur abu (AFT) relatif rendah dan berkadar lempung tinggi, maka abu yang menempel akan membentuk lapisan dan lama – kelamaan akan berkembang. Jika hal ini berlangsung terus, maka dapat menyebabkan turunnya kapasitas keluaran boiler akibat beberapa masalah yang muncul, diantaranya adalah menurunnya penyerapan panas oleh tungku dan tersumbatnya lubang (orifice) pada tungku.

Untuk slagging ini, karakteristiknya dapat dinilai dari suhu lebur abu (AFT) dan kondisi abu itu sendiri. Suhu lebur abu yang rendah akan memudahkan terjadinya slagging. Kemudian, diketahui pula bahwa bila rasio unsur alkali (Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O) terhadap unsur asam (SiO2, Al2O3, TiO2) meninggi, potensi timbulnya slagging juga meningkat.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap slagging.

a. Metode evaluasi representatif.

Metode ini dikembangkan oleh perusahaan Babcock & Wilcox (B & W) yang merupakan fabrikanboiler terkemuka dari Amerika.

Pada metode ini, penilaiannya akan berbeda sesuai dengan komposisi unsur pembentuk abu sebagaimana ditampilkan di bawah ini.

• Abu tipe bituminus … CaO + MgO < Fe2O3. 
• Abu tipe lignit … CaO + MgO > Fe2O3.

Abu tipe bituminus

Pada tipe ini, karakteristik slagging ditentukan berdasarkan perhitungan rasio unsur alkali terhadap unsur asam, dengan kadar sulfur.

Rs (Slagging index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / SiO2 + Al2O3 + TiO2} X S

S adalah Total Sulfur (%) dalam DB.

Abu tipe lignit

Pada slagging, yang banyak berpengaruh adalah CaO yang merupakan unsur yang mudah menempel di dinding penghantar panas, dan Na2O yang merupakan unsur yang menentukan kekuatan ikatan abu yang menempel. Tipe lignit banyak mengandung kedua unsur tersebut. Dan parameter untuk penilaian slagging pada tipe ini adalah suhu melebur abu saja.

Hampir semua lignit termasuk sebagian besar batubara sub-bituminus dievaluasi berdasarkan perhitungan di bawah ini.

Rs (Slagging index) = {HT (Hemisphere Temp.) + 4 X IDT (Initial Deformation Temp.)} / 5

Meskipun suhu lebur abu dapat diukur dalam lingkungan oksidasi maupun reduksi., tetapi suhu pada kondisi reduksi pada umumnya menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi oksidasi (50 ~ 2000C). Hal ini terkadang dapat mempengaruhi hasil penilaian.


b. Rasio alkali dalam abu (base/acid ratio) 

Rasio alkali dalam abu ditampilkan dalam persamaan berikut ini: 

Rasio alkali dalam abu = unsur alkali / unsur asam = (Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 ) 

Persamaan di atas menunjukkan rasio tingkat kemungkinan pembentukan low molten-salt oleh unsur – unsur logam dalam abu (kecuali Si yang non logam) pada saat pembakaran batubara. 

Bila rasio ini tinggi, maka oksida dengan titik lebur rendah dan senyawa alkali akan mudah terbentuk, menyebabkan kecenderungan slagging juga meninggi. Untuk rentang nilainya, meskipun sedikit banyak tergantung pula dari unsur – unsur yang lain (persentase dari Fe2O3 , CaO, SiO2, Al2O3, dan lain – lain), tapi hampir semua abu menunjukkan kecenderungan suhu lebur abu yang rendah dan potensi slagging yang tinggi pada rasio 0.4 ~ 07. 

Terkait hal ini, fabrikan boiler biasanya menentukan nilai rasio yang lebih rendah dari 0.4 ~ 0.5. 

c. Total alkali (Na2O + K2O)

Na2O dan K2O akan membentuk senyawa dengan titik lebur rendah bila berikatan dengan unsur yang lain. Meningkatnya kecenderungan slagging juga akan diikuti oleh meningkatnya kecenderungan fouling, sesuai dengan kadar alkali dalam abu. Oleh karena itu, pembuat boilerbiasanya menentukan nilai total alkali kurang dari 5%, dengan angka ideal kurang dari 3%.

Yang perlu diperhatikan bahwa total alkali yang dimaksud disini bukan berarti jumlah dari seluruh unsur alkali dalam abu. Meskipun salah kaprah, tapi penyebutan ini sudah menjadi kelaziman. Hal ini karena istilah tersebut merujuk ke unsur alkali, terutama Na2O dan K2O yang mudah membentuk senyawa dengan titik lebur rendah. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah “total oksida logam alkali”.

d. Unsur lainnya.

Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan slagging. Diantaranya adalah

- Rasio besi / kalsium (Fe2O3 / CaO)

Secara umum diketahui bahwa rasio antara 0.2 ~ 10 akan berpengaruh pada penurunan suhu lebur abu, dengan rasio 0.3 ~ 3 menunjukkan gejala yang paling mencolok. Jadi, kecenderungan slagging akan meninggi pada rentang nilai ini.

- Besi oksida (Fe2O3)

Bila kalsium oksida (CaO) ditambahkan pada besi okssida (Fe2O3) maka suhu lebur akan turun dan kecenderungan slagging akan meningkat. Untuk itu, maka kadar Fe2O3 diharapkan tidak lebih dari 15%. Untuk desain boiler, nilai maksimalnya adalah 20%.

Disamping itu, kadar besi oksida yang banyak juga akan menyebabkan abunya berwarna kemerahan.

Fouling

Fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas (super heater maupun re-heater) yang dipasang di lingkungan dimana suhu gas pada bagian belakang furnace lebih rendah dibandingkan suhu melunak abu (ash softening temperature).

Unsur yang paling berpengaruh pada penempelan abu ini adalah material basa terutama Na, yang dalam hal ini adalah kadar Na2O.

Bila kadar abu batubara banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar Na2O yang tinggi, maka fouling akan mudah terjadi.

Evaluasi karakteristik fouling sama dengan untuk slagging, yaitu dinilai berdasarkan rasio unsur basa dan asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai – nilai tadi tinggi, maka secara umum kecenderungan fouling juga meningkat.

Selanjutnya, kadar sulfur yang tinggi juga cenderung mendorong timbulnya fouling melalui pembentukan senyawa bersuhu lebur rendah, melalui persenyawaan dengan unsur basa ataupun besi.

Fouling yang berkembang akan dapat menyebabkan bermacam – macam masalah seperti penurunan suhu uap pada keluaran (outlet) super heater dan re-heater, serta menyempit dan tersumbatnya jalur aliran gas. Untuk menghilangkan abu ini dapat digunakan soot blower, sama seperti penanganan pada slagging.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap fouling.

a. Metode evaluasi representatif.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mempengaruhi kondisi menempelnya abu adalah Na2O. Oleh karena itu, perusahaan B & W menentukan penilaian fouling berdasarkan persamaan di bawah ini. Untuk pembagian tipe abu juga sama dengan untuk slagging.

Abu tipe bituminus (CaO + MgO < Fe2O3) 

Rf (Fouling index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 )} X Na2O

Abu tipe lignit (CaO + MgO > Fe2O3)

Rf = kadar Na2O (%)

b. Unsur lainnya.

Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan fouling. Diantaranya adalah

- Na2O

Unsur yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan fouling adalah unsur alkali, terutama Na. Seperti dijelaskan di atas bahwa pengaruh Na2O adalah besar. Batubara yang abunya (baik tipe lignit maupun bituminus) mengandung Na2O dengan kadar lebih dari 1~2% (sebagian fabrikan menunjuk angka lebih dari 2 ~ 4%) mengindikasikan memiliki kecenderungan fouling yang tinggi.

Di Jepang, standar kualitas batubara uap untuk Na2O adalah 0.1%~3% untuk pembangkitan listrik, dan maksimal 1.2% untuk industri semen.

Batas bawah untuk pembangkitan listrik adalah 0.1%, karena bila angkanya kurang dari ini akan menyebabkan turunnya performa keterambilan debu (untuk proses pengambilan debu dengan Electrostatic Precipitator suhu rendah yang banyak digunakan di Jepang).

Sedangkan untuk industri semen, standar angka (maksimal 1.2%) tadi bukan dimaksudkan untuk menilai kecenderungan fouling, tapi untuk fenomena penurunan kualitas beton terpasang yang disebut dengan alkali-aggregate reaction. Bila terdapat banyak Na2O dalam semen, maka akan timbul alkali-aggregate reaction yang dapat menyebabkan tulang beton menjadi aus atau mengembang, serta betonnya itu sendiri dapat mengembang dan retak.

Disamping Na, unsur lain di dalam semen yang juga dapat menyebabkan fenomena ini adalah K (Kalium). Selain berasal dari abu batubara seperti halnya Na, Kalium juga ada yang terbawa dari bahan baku semen.

Oleh karena itu, penilaiannya ditentukan oleh jumlah Na2O dan K2O di dalam semen, yang nilainya diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Sedangkan yang terdapat dalam abu batubara, standar nilai yang ditetapkan adalah maksimal 1.2%.

Alasan mengapa angkanya sangat besar yaitu 1.2% adalah karena sedikitnya jumlah yang terbawa dari batubara untuk proses kalsinasi di kiln (diperlukan 110~120 kg batubara untuk produksi 1 ton semen). Selain itu, bila abu batubara diganti dengan lempung yang merupakan bahan baku sekunder (diperlukan 280~300 kg untuk produksi 1 ton semen), kadar Na2O dan K2O dapat diperoleh dalam jumlah yang sangat sedikit sesuai dengan rasio substitusi yang diperhitungkan.

Bila jumlah Na2O dan K2O dikonversi ke dalam basis Na2O, maka perhitungannya adalah Na2O + 0.658 K2O. Disini, angka 0.658 adalah hasil bagi antara berat molekul Na2O (61.98) dengan berat molekul K2O (94.20).

- CaO.

Batubara dengan kadar CaO dalam abu yang tinggi menunjukkan kecenderungan fouling yang tinggi pula. Disini, yang perlu mendapat perhatian adalah bila kadar CaO dalam abunya lebih dari 15~20%.


* Sumber: Sekitan No Kiso Chishiki (Gijutsu Hen)
Selengkapnya...

Mengenal Coal Bed Methane (CBM)

Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.

Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas,devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas(peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.



Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.


Gambar 1. Prinsip produksi CBM

CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.

Potensi CBM

Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.


Gambar 2. Pembentukan CBM

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.

Produksi CBM & Teknologi Pengeboran

Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.
Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini.


Gambar 3. Teknik produksi CBM

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.


Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.

Catatan: Teknik pengontrolan arah bor

Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini, hanya bit yang terpasang di ujung down hole motor saja yang berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan) dan bukan mesin bor rotary (pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran sumur horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut MWD (Measurement While Drilling) terpasang di bagian belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.


Gambar 5. Pengontrolan arah bor

ECBM

ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk meningkatkan keterambilan CBM. Pada teknik ini, gas injeksi yang umum digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh sangat berbeda tergantung dari gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan produksi CBM dengan menggunakan gas injeksi N dan CO2.



Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2

Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan tetapi, karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan justru menjadi berkurang.

Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan karena konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks tersebut. Sebagian N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi N lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh (saturated) dengan sedikit N saja.




Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas



Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara

Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila dibandingkan dengan gas metana, sehingga CO2 akan menghalau gas metana yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja banyak menempel di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak terdapat CO2 sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih sedikit bila dibandingkan dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.


*Sumber: “Sekitan No Hon” by Kazuo Fujita.
Selengkapnya...

Gasifikasi Batubara

Secara umum, teknologi pemanfaatan batubara terbagi menjadi pembakaran (combustion), pirolisis (pyrolysis), pencairan (liquefaction), dan gasifikasi (gasification).

Pembakaran merupakan pemanfaatan batubara secara langsung untuk memperoleh energi panas, menghasilkan produk sampingan berupa gas buang (flue gas) dan abu. PLTU merupakan salah satu contoh pemanfaatan batubara secara langsung, dimana batubara dibakar di boiler untuk menghasilkan panas yang akan digunakan untuk mengubah air menjadi uap air (steam), yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin uap dan memutar generator untuk menghasilkan energi listrik.

Sedangkan pada pirolisis, batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen. Pada keadaan demikian, zat terbang (volatile matter) di dalamnya akan terusir keluar. Bila suhu pemanasannya rendah, proses ini disebut pirolisis suhu rendah (low temperature pyrolysis), menghasilkan produk berupa bahan bakar padat non asap (coalite). Sedangkan pada pirolisis suhu tinggi, bila batubara yang diproses adalah batubara kokas, maka akan dihasilkan kokas yang keras. Selain padatan yang disebut char ataupun kokas, produk sampingan berupa gas dan material cair yang disebut tar juga akan dihasilkan pada pirolisis. Pada awalnya, gas dan tar ini tidak dimanfaatkan. Gas hasil pirolisis ini dimulai dimanfaatkan sejak tahun 1800an, yang digunakan untuk keperluan penerangan. Pemanfaatannya bahkan meluas hingga untuk bahan bakar (fuel gas), sehingga industri pirolisis yang bertujuan untuk menghasilkan gas dari batubara pun berkembang pesat. Pada industri ini, gas merupakan produk utama, sedangkan char atau kokas dan tar merupakan produk sampingan. Sebelum tahun 1960an ketika bahan baku migas mulai menggeser peranan batubara, suplai gas kota (town gas) terutama berasal dari pirolisis batubara ini. Adapun untuk tar, pemanfaatannya dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut denganpetrochemical berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coal-chemicaltelah lebih dulu eksis.

Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah bentuknya yang berupa padatan, menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya menjadi terbatas. Pencairan batubara sebenarnya berangkat dari pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai guna batubara seperti halnya minyak. Seperti disinggung pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk batubara ketika dilakukan pemanasan adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara dan minyak merupakan material hidrokarbon yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur hidrogen dalam batubara lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk cairan dari batubara yang karakteristiknya menyerupai minyak, perlu diupayakan agar kandungan hidrogennya diperbanyak sehingga mendekati minyak. Proses ini disebut dengan hidrogenasi (hydrogenation), dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan tertentu, disertai penambahan katalis. Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan batubara secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan proses Bergius. Metode ini digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II untuk memenuhi kebutuhan minyak sintetik oleh militer. Selain itu, Jepang pun berhasil mengembangkan sendiri teknologi DCL ini dengan menggabungkan 3 macam metode pencairan pada batubara bituminus yaitu, direct hydrogenation, solven extraction, danSolvolysis. Teknologi tersebut dikenal dengan proses NEDOL, yang dapat diaplikasikan pula untuk pencairan batubara muda.

Selain pencairan secara langsung, metode lain untuk menghasilkan minyak sintetik dari batubara adalah dengan pencairan tidak langsung (indirect coal liquefaction, ICL), yaitu melalui proses gasifikasi batubara yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Pada perkembangannya, pencairan batubara akhirnya lebih banyak menggunakan metode tidak langsung, yaitu melalui gasifikasi.

Teknologi Gasifikasi

Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi produk gas – gas yang memiliki nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak memasukkan istilah pembakaran (combustion) sebagai bagian daripadanya, karena gas buang (flue gas) yang dihasilkan dari pembakaran tidak memiliki nilai kalor yang signifikan untuk dimanfaatkan [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena proses ini merupakan konversi material yang mengandung karbon, maka semua hidrokarbon seperti batubara, minyak, vacuum residue, petroleum coke atau petcoke, Orimulsion, bahkan gas alam dapat digasifikasi untuk menghasilkan gas sintetik (syngas).

Karena bertujuan untuk mengenalkan gasifikasi batubara, maka tulisan ini membatasi pembahasannya hanya pada ruang lingkup gasifikasi batubara dan aplikasinya.

Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari batubara, yaitu pirolisis, hidrogenasi, dan oksidasi sebagian (partial oxidation).

Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi pirolisis, tapi saat ini pirolisis lebih banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-oil dari bahan baku biomassa. Metode yang dipakai adalah flash pyrolysis, dimana biomassa dipanaskan secara cepat tanpa oksigen pada suhu tinggi antara 450~600℃, dengan waktu tinggal gas (residence time) yang pendek yaitu kurang dari 1 detik. [Bramer, Brem, 2006].

Adapun hidrogenasi yang dimaksud disini adalah hidrogasifikasi (hydro-gasification), yang bertujuan memproduksi gas metana (Synthetic Natural Gas) langsung dari batubara. Karena operasional hidrogasifikasi memerlukan tekanan yang tinggi, teknologi ini kurang berkembang dan akhirnya tidak sampai ke tahap komersial. [Higman, van der Burgt, 2003]

Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan dengan mengatur kadar oksigen dari oksidan yang digunakan selama proses berlangsung. Oksidan tersebut dapat berupa udara (air), oksigen murni, maupuan uap air (steam). Produk yang dihasilkan oleh oksidasi sebagian adalah gas sintetik, dimana 85% lebih volumenya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO), sedangkan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) terdapat dalam jumlah sedikit. Dengan karakteristik produk yang dihasilkan, secara praktikal, istilah gasifikasi sebenarnya merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk selanjutnya, penjelasan tentang gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode oksidasi sebagian.

Gasifikasi Batubara

Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batubara, yaitu tipemoving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang), dan entrained flow (aliran semburan). Karena masing – masing penggas memiliki kelebihan dan kekurangan, maka alat mana yang akan digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik bahan bakar dan tujuan gasifikasi.

Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak besar, sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas, sedangkan oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat. Mekanisme ini akan menyebabkan batubara turun pelan – pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan produk sisa berupa abu. Karena penggas model ini beroperasi pada suhu relatif rendah yaitu maksimal sekitar 6000C, maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di bagian bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut. Disamping produk utama yaitu gas hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu relatif rendah ini akan meningkatkan persentase gas metana pada produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving bed sesuai untuk produksi SNG (Synthetic Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas Lurgi, yang digunakan oleh Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota Gasification di AS untuk produksi SNG.









Gambar 1. Tipikal penggas jenis moving bed

Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil dibandingkan padamoving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja. Tipikal penggas ini memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan oksidan dari bagian bawah. Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena penggas ini beroperasi pada suhu sekitar 600~10000C, maka batubara yang akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu (softening temperature) di atas suhu operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif rendah, penggas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat rendah seperti lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batubara yang lain. Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini sangat diharapkan untuk dapat mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara peringkat rendah, biomassa, dan limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste). Contoh alat model ini adalah penggas Winkler yang merupakan pionir penggas fluidized bed, penggas HTW (High Temperature Winkler), dan KBR (Kellog Brown Root) Transport Gasifier.








Gambar 2. Tipikal penggas jenis fluidized bed

Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek – proyek gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat ini, batubara yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau kurang. Batubara serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa oksigen, udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C, dengan waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya akan meleleh membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert. Meski demikian, batubara sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai untuk penggas jenis ini. Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone) untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh.

Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara mengumpan bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini mengumpan batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry up. Gas sintetik akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry up ini juga dijumpai pada penggas Shell dan Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam kondisi kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up. Tipikal jenis ini adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula metode slurry down, yang dijumpai pada penggas Chevron – Texaco. Secara umum, bahan bakar berupa batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan dalam keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.








Gambar 3. Tipikal penggas jenis entrained flow (dry down)

Aplikasi Gasifikasi Batubara

Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)

Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi batubara terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia yang begitu melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat produksi sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan terbukti batubara dapat bertahan hingga 192 tahun. Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing – masing hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari batubara (CTL) menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE Annual Energy Outlook 2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta barel per hari pada tahun 2025, ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta barel per hari.

Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk menghasilkan gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO), kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT) untuk menghasilkan hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian diproses lebih lanjut untuk menghasilkan bensin dan minyak diesel. Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah, maka dilakukan upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas sintetik ini. Proses tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas sintetik terlebih dulu, kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi. Metode ini disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh Mobil pada tahun 1970an.

Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah South African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan, yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari menggunakan penggas Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-Tropsch.

Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan Afsel tidak dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel memiliki cadangan batubara yang melimpah. Pabrik pertama (Sasol I) selesai didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak sintetik pertama dipasarkan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama (first profit) berhasil diraih oleh Sasol setelah 5 tahun operasional. Pabrik Sasol II diumumkan pada tahun 1974 ketika harga minyak dunia mencapai US$13/barel saat itu (setara US$40/barel tahun 2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973. Sedangkan Sasol III diumumkan tahun 1979 ketika harga minyak mencapai US$35/barel saat itu (setara US$80/barel tahun 2003) akibat revolusi Iran. Sasol II dan Sasol III masing – masing selesai didirikan pada tahun 1980 dan 1984.

Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM dalam negeri Afsel (28% dari batubara). [van de Venter, 2005]

2. Pembangkit listrik (Coal to Power)

Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas pembangkit listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan tersebut. Ada 3 pilihan yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi dan upgrade fasilitas sehingga teknologi pembersihan pasca pembakaran (post-combustion clean up technology) dapat diterapkan, modifikasi sistem pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan kombinasi berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan modifikasi sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara untuk menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]








Gambar 4. Konsep Sistem Gasifikasi

Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca pembakaran sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar batubara serbuk (pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya pemasangan unit desulfurisasi (Flue Gas Desulfurization, FGD) dapat mencapai 20% dari total biaya pembangunannya. Untuk pilihan kedua yaitu mekanisme NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi ongkos bahan bakar yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan. Pilihan ketiga merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut mampu menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas pembangkit yang ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu batubara.

Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan listrik dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery Steam Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG (Siemens), Mitsubishi, dan Shell.

Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di pendingin gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih dulu sebelum mengalir ke turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas buang dari turbin gas kemudian mengalir ke HRSG, dimana panas dari gas tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan uap air. Selain dari turbin gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses pendinginan gas juga dialirkan ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan kombinasi 2 siklus ini, tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto pembangkitan pada IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan konvensional (pulverized coal) yang saat ini mendominasi.

Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang dihasilkan dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan. H2S dan COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat yang merupakan produk sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan air. Uap air raksa dibersihkan dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan karbon aktif. Adapun abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah menjadi padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran bahan pada pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].

Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial, pembangkit ini pada awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek Demkolec. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.[Chhoa, 2005].

Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah biaya pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan, IGCC juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi menyuplai oksigen ke penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin gas, turbin uap, HRSG) dan unit ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan terbukti sehingga dari segi ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan biaya pembangkitan pada IGCC, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan performa penggas dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van der Burgt, 1998]. Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan, biaya pembangkitan pada IGCC diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya pembangkitan pada pembangkit pulverized coal (PC) yang saat ini mendominasi yang ongkos pembangkitannya cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu lingkungan. Dan pada tahun 2010, di Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC akan menyamai ongkos pembangkitan pada PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].

Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin besar unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan menyebutkan bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan minimal 550 MWe.[Trapp, 2005].

3. Industri kimia (Coal to Chemical)

Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME (Dimethyl Ether), olefin, paraffin, dan lain – lain.

Eastman Chemical di Kingsport, Tennessee, AS, memanfaatkan gasifikasi batubara untuk memproduksi bahan baku industri kimia yaitu asam asetat. Fasilitas ini beroperasi sejak tahun 1983, menggunakan penggas Texaco. Pada awalnya, kapasitasnya hanya mampu memenuhi separoh dari kebutuhan asam asetat yang diperlukan, tapi sejak tahun 1991 kapasitasnya ditingkatkan hingga mampu memenuhi seluruh kebutuhan asam asetat untuk produksi hilir. Perusahaan ini mengkonsumsi batubara sebanyak 1300 ton per hari untuk gasifikasi, dan memproduksi lebih dari 400 jenis bahan kimia, serat sintetis, serta plastik, dengan omzet sekitar US$5 miliar per tahun.[Trapp, 2001].

Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui kerjasama joint venturedengan Sinopec membangun pabrik pupuk menggunakan mekanisme gasifikasi batubara berkapasitas 2000 ton per hari di Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya sendiri dimulai tahun 2003 dan direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell juga menangani sekitar 12 proyek gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir 70%nya untuk keperluan industri pupuk dan sisanya untuk produksi metanol, serta hidrogen untuk keperluan pencairan batubara secara langsung. [Chhoa, 2005].

Selain Shell, GE Energy juga menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina. Sampai dengan Oktober 2006, dari 7 proyek yang direncanakan, 3 unit telah telah beroperasi untuk memproduksi metanol dan ammonia.[Lowe, 2006].

Penutup

Dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, kemudian ketersediaannya yang melimpah, serta penyebaran cadangan yang relatif merata di seluruh dunia, batubara merupakan sumber energi primer yang menjanjikan. Apabila selama ini pemanfaatan batubara terkesan terbatas untuk pembangkitan listrik saja, maka gasifikasi batubara memberikan harapan yang besar untuk pemanfaatan batubara secara optimal di masa mendatang. Dari paparan di atas dapat pula disimpulkan bahwa batubara memiliki kekuatan yang besar untuk menarik roda perekonomian suatu bangsa melalui teknologi gasifikasi.

Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja, misalnya untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula dirancang untuk tujuan yang lain secara bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain untuk menghasilkan listrik, memproduksi bahan baku industri kimia, maupun membuat bahan bakar sintetis sekaligus. Mekanisme ini disebut dengan polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).







Gambar 5. Polygeneration




Memperhatikan nilai tambah (added value) batubara melalui teknologi gasifikasi dan efek ekonomis yang ditimbulkannya, dapat dipahami bahwa batubara sesungguhnya lebih dari sekedar komoditas dagang belaka. Batubara sesungguhnya merupakan sumber daya strategis untuk menjamin kemandirian energi dan industri suatu bangsa di masa mendatang.

Penulis akan mencoba membandingkan kondisi perbatubaraan di Cina dan Indonesia terkait hal ini. Meskipun data yang diambil hanya pada tahun 2003 dan 2004 saja, tapi penulis melihat bahwa tahun tersebut merupakan titik balik penting yang merefleksikan kebijakan energi pemerintah Cina yang perlu dijadikan pelajaran.

Berdasarkan laporan World Coal Institute (WCI), Cina memproduksi batubara sebanyak 1,502 milyar ton dengan ekspor sebesar 95,1 juta ton (6,3% total produksi) pada tahun 2003. Di tahun berikutnya, terjadi peningkatan produksi sekitar 450 juta ton sehingga total produksi menjadi 1,956 milyar ton. Menariknya, meskipun terjadi kenaikan produksi, volume ekspor batubara Cina justru menurun menjadi 86 juta ton (4,4% total produksi). Bersamaan dengan penurunan ekspor, volume impor justru naik dari 10,29 juta ton pada tahun 2003 menjadi 18,36 juta ton pada tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akhirnya memaksa pemerintah Cina untuk memikirkan keamanan energi dalam negeri, dan batubara merupakan pilihan utama. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan ekspor dan meningkatnya volume impor batubara. Disamping itu, pemerintah Cina juga meluncurkan proyek – proyek pembangunan pabrik pupuk, metanol, dan industri petrokimia lainnya sampai tahun 2020 untuk mendongkrak perekonomian mereka melalui mekanisme gasifikasi batubara.

Dari laporan WCI pula, produksi batubara Indonesia pada tahun 2003 mencapai 120,1 juta ton, dengan volume ekspor sebesar 90,1 juta ton (75% total produksi). Kemudian pada tahun 2004 terjadi peningkatan produksi sehingga total produksi batubara Indonesia menjadi 129 juta ton, dengan peningkatan ekspor mencapai 107 juta ton (83% total produksi). Sungguh ironis bahwa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman, dimana Indonesia yang dulunya eksportir minyak, sekarang menjadi importir murni sejak tahun 2004. Sangat disayangkan pula, pemerintah nampaknya menganggap bahwa batubara tidak lebih dari komoditas ekspor belaka seperti halnya minyak dulu.

Referensi
1. Arai, Y., Beikoku no Sekitan Gasuka Jigyouka Doukou ni tsuite, JCOAL Journal Vol. 3, January 2006.
2. Bramer, EA., Brem, G., A New Technology for Fast Pyrolysis of Biomass: Development of the PyRos Reactor, Pamflet Laboratorium Rekayasa Termal, Fakultas Teknik, Universitas Twente, Belanda, 2006.
3. Childress, J., Repowering Conventional Coal Plants with Texaco Gasification: The Environmental & Economic Solution, Gasification Technologies Conference, San Francisco, 2000.
4. Chhoa, T., Shell Gasification Business in Action, Gasification Technologies Conference, San Francisco, 2005.
5. Higman, C., van der Burgt, M., Gasification, New York: Gulf Professional Publishing, 2003.
6. Holt, N., Gasification Process Selection – Trade-offs & Ironies, Gasification Technologies Conference, Washington DC, 2004.
7. http://www.fossil.energy.gov/
8. Lowe, E., GE Energy Gasification Business Overview, Gasification Technologies Conference, Washington DC, 2006.
9. Phillips, J., Coal Gasification, EPRI, 2006.
10. Trapp, B., dkk, Coal Gasification, When Does It Make Sense?, Power-Gen International, Las Vegas, 2005.
11. Trapp, B., dkk, Eastman & Gasification: The Next Step – Building on Past Success, Gasification Technologies Conference, San Francisco, 2001.
12. van de Venter, E., dkk, Sasol Coal-to Liquids Developments, Gasification Technologies Conference, San Francisco, 2005.
13. van der Burgt, M., How to Reduce Capital Cost of IGCC Power Stations, 17th EPRI Conference on Gas-Fired Power Plants, San Francisco, 1998.
Selengkapnya...

Sulfur Dalam Batubara

Total Sulfur pada batubara adalah jumlah kandungan sulfur yang terdapat dalam abu batubara (disebut pula noncombustible sulfur) dengan combustible sulfur. Atau definisi lainnya menyebutkan, total sulfur adalah jumlah inorganic sulfur dengan organic sulfur.

Definisi 1:

Total Sulfur (TS) = combustible sulfur + noncombustible sulfur.

Combustible sulfur didapat dari pengurangan total sulfur dengan noncombustible sulfur yang terdapat dalam abu batubara.


Definisi 2 (definisi ISO):

Total Sulfur (TS) = inorganic sulfur* + organic sulfur.

*Inorganic sulfur: 1. Sulfate sulfur; 2. Pyritic sulfur
Berdasarkan definisi ISO, sulfur yang terdapat di dalam batubara untuk keperluan analisis ada 3, yaitu sulfate sulfur, pyritic sulfur, dan organic sulfur.

Sulfate sulfur adalah sulfur yang terdapat dalam batubara, berbentuk sebagai sulfat.

Pyritic sulfur sulfur yang terdapat dalam batubara, berbentuk sebagai pyrite atau marcasite.

Organic sulfur adalah sulfur yang berikatan dengan material batubara, nilainya didapat dari pengurangan total sulfur dengan jumlah sulfate sulfur dan pyritic sulfur.

Organic sulfur = total sulfur – (sulfate sulfur + pyritic sulfur)

Pada saat pembakaran batubara di boiler, sulfur yang terdapat dalam batubara akan berubah menjadi SO2 dan SO3 yang mencemari udara. Selain itu, sulfur tersebut juga menimbulkan korosi pada permukaaan pemanas boiler. Oleh karena itu, total sulfur pada steam coal diharapkan tidak lebih dari 1%.

Sedangkan pada pengolahan besi baja, total sulfur pada kokas diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Bila lebih dari nilai ini, kualitas pemrosesan akan turun, seperti mudah rapuhnya besi atau baja tersebut.
Selengkapnya...

Mengenal Batubara

Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat pemanfaatan yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM. Bahkan petunjuk paling awal tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti batu. Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM. Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan batu bara di Eropa, bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari lapisan batu bara yang tersingkap di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia. Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batubara amat mendesak. Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.


Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960 minyak menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa batubara akhirnya tidak berperan sama sekali sebagai salah satu sumber energi primer. Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang berlebihan pada salah satu sumber energi primer, dalam hal ini minyak, akan menyulitkan upaya pemenuhan pasokan energi yang kontinyu. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di Timur Tengah yang merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada fluktuasi harga maupun stabilitas pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan pamor batubara sebagai alternatif sumber energi primer, disamping faktor – faktor berikut ini:

1. Cadangan batubara sangat banyak dan tersebar luas. Diperkirakan terdapat lebih dari 984 milyar ton cadangan batubara terbukti (proven coal reserves) di seluruh dunia yang tersebar di lebih dari 70 negara. Dengan asumsi tingkat produksi pada tahun 2004 yaitu sekitar 4.63 milyar ton per tahun untuk produksi batubara keras (hard coal) dan 879 juta ton per tahun untuk batubara muda (brown coal), maka cadangan batubara diperkirakan dapat bertahan hingga 164 tahun. Sebaliknya, dengan tingkat produksi pada saat ini, minyak diperkirakan akan habis dalam waktu 41 tahun, sedangkan gas adalah 67 tahun. Disamping itu, sebaran cadangannya pun terbatas, dimana 68% cadangan minyak dan 67% cadangan gas dunia terkonsentrasi di Timur Tengah dan Rusia.
2. Negara – negara maju dan negara – negara berkembang terkemuka memiliki banyak cadangan batubara. Berdasarkan data dari BP Statistical Review of Energy 2004, pada tahun 2003, 8 besar negara – negara dengan cadangan batubara terbanyak adalah Amerika Serikat, Rusia, China, India, Australia, Jerman, Afrika Selatan, dan Ukraina.
3. Batubara dapat diperoleh dari banyak sumber di pasar dunia dengan pasokan yang stabil.
4. Harga batubara yang murah dibandingkan dengan minyak dan gas.
5. Batubara aman untuk ditransportasikan dan disimpan.
6. Batubara dapat ditumpuk di sekitar tambang, pembangkit listrik, atau lokasi sementara.
7. Teknologi pembangkit listrik tenaga uap batubara sudah teruji dan handal.
8. Kualitas batubara tidak banyak terpengaruh oleh cuaca maupun hujan.
9. Pengaruh pemanfaatan batubara terhadap perubahan lingkungan sudah dipahami dan dipelajari secara luas, sehingga teknologi batubara bersih (clean coal technology) dapat dikembangkan dan diaplikasikan.

Melihat pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa peranan batubara dalam penyediaan kebutuhan energi sangatlah penting. Disini penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang hal tersebut, tapi akan mengenalkan tentang batubara dan parameter umum yang menjadi penilaian kualitas batubara.

Pembentukan Batubara

Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda – beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam – macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda – beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).



Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara

Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing – masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.


Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf based)

Data – data di atas apabila ditampilkan dalam bentuk grafik hasilnya adalah sebagai berikut:


Gambar 2. Hubungan Tingkat Pembatubaraan – Kadar Unsur Utama

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pembatubaraan, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah – disebut pula batubara bermutu rendah – seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.

Pemanfaatan Batubara

Klasifikasi batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan biasanya menjadi indikator umum untuk menentukan tujuan pengggunaannya. Misalnya, batubara ketel uap atau batubara termal (steam coal) banyak digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik, pembakaran umum seperti pada industri bata atau genteng, dan industri semen, sedangkan batubara metalurgi (metallurgical coal atau coking coal) digunakan untuk keperluan industri besi dan baja serta industri kimia. Kedua jenis batubara tadi termasuk dalam batubara bituminus. Adapun batubara antrasit digunakan untuk proses sintering bijih mineral, proses pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping, dan untuk pembuatan briket tanpa asap.


Gambar 3. Jenis – jenis Batubara dan Pemanfaatannya

Kualitas Batubara

Dalam pemanfaatannya, batubara harus diketahui terlebih dulu kualitasnya. Hal ini dimaksudkan agar spesifikasi mesin atau peralatan yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakarnya sesuai dengan mutu batubara yang akan digunakan, sehingga mesin – mesin tersebut dapat berfungsi optimal dan tahan lama. Secara umum, parameter kualitas batubara yang lazim digunakan adalah kalori, kadar kelembaban, kandungan zat terbang, kadar abu, kadar karbon, kadar sulfur, ukuran, dan tingkat ketergerusan, disamping parameter lain seperti analisis unsur yang terdapat dalam abu (SiO2, Al2O3, P2O5,Fe2O3, dll), analisis komposisi sulfur (pyritic sulfur, sulfate sulfur, organic sulfur), dan titik leleh abu (ash fusion temperature).

Mengambil contoh pembangkit listrik tenaga uap batubara, pengaruh – pengaruh parameter di atas terhadap peralatan pembangkitan listrik adalah sebagai berikut:

1. Kalori (Calorific Value atau CV, satuan cal/gr atau kcal/kg)
CV sangat berpengaruh terhadap pengoperasian pulveriser/mill, pipa batubara dan windbox, serta burner. Semakin tinggi CV maka aliran batubara setiap jam-nya semakin rendah sehingga kecepatan coal feeder harus disesuaikan. Untuk batubara dengan kadar kelembaban dan tingkat ketergerusan yang sama, maka dengan CV yang tinggi menyebabkan pulveriser akan beroperasi di bawah kapasitas normalnya (menurut desain), atau dengan kata lain operating ratio-nya menjadi lebih rendah.



Gambar 4. Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara

2. Kadar kelembaban (Moisture, satuan %)
Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM) dan inherent moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut dengan total moisture (TM). Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Batubara berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output pulveriser.
3. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan %)
Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada perbandingan antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio).
Fuel Ratio = Fixed Carbon / Volatile Matter
Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Kemudian bila perbandingan tersebut nilainya lebih dari 1.2, pengapian akan kurang bagus sehingga mengakibatkan kecepatan pembakaran menurun.
4. Kadar abu (Ash content, satuan %)
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80% , dan abu dasar sebanyak 20%. Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan yang dilalui.
5. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuan %)
Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan jumlah kadar air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini semakin bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio sebagaimana dijelaskan di atas.
6. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan %)
Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur, dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari pada titik embun sulfur, disamping berpengaruh terhadap efektivitas penangkapan abu pada peralatan electrostatic precipitator.
7. Ukuran (Coal size)
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized coal atau dust coal) dan butir kasar (lump coal). Butir paling halus untuk ukuran maksimum 3mm, sedangkan butir paling kasar sampai dengan ukuran 50mm.
8. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI)
Kinerja pulveriser atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah, kapasitasnya harus beroperasi lebih rendah dari nilai standarnya pula untuk menghasilkan tingkat kehalusan (fineness) yang sama.

Penutup

Dengan mengetahui apa itu batubara dan peranan pentingnya, diharapkan batubara tidak semata dipandang sebagai komoditas belaka saja, tapi yang lebih penting adalah bahwa batubara merupakan salah satu sumber daya strategis bagi keamanan energi di dalam negeri. Terlebih dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batubara yang besar, yaitu sekitar 38.8 milyar ton dimana 70%-nya merupakan batubara muda sedangkan 30% sisanya adalah batubara kualitas tinggi. Potensi ini hendaknya disadari oleh segenap lapisan masyarakat sehingga pengelolaan batubara secara optimal untuk kepentingan bangsa dapat terus dipantau dan diperhatikan bersama – sama.

Referensi:
1. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.
2. JCOAL, Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, Japan Coal Energy Center, 2004.
3. NEDO, Tankou Gijutsu Ippan Kenshuu You Kyouzai, 2001.
4. Sekitan no Kiso Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki Kaisha.
5. Sukandarrumidi, Batubara dan Gambut, Gadjah Mada Univ. Press, 1995.
6. WCI, Coal Facts 2005, World Coal Institute, October 2005.
7. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004.
8. WCI, The Role of Coal as an Energy Source, World Coal Institute, 2002.
9. Shigen Enerugi- Chou Sekitan Bu, Ko-ru No-to 1993 Nen Ban, Shigen Sangyou
Shinbunsha, 1993.
Selengkapnya...